Politik Uang: Topeng Perpolitikan Yang Merusak Demokrasi

OPINI

Jurnalis Muda 12

11/16/20238 min baca

Demokrasi tidak hanya sebagai alat (Instrument) atau cara (Ways) melainkan juga sekaligus merupakan tujuan (Aims). Untuk mencapai tujuan dari demokrasi diperlukan juga pola-pola pendekatan yang demokratis. Sebagai sebuah tujuan demokrasi di idealkan sebagai sistem yang menjamin keberlangsungan control rakyat (Popular control) terhadap urusan publik atas dasar-dasar kesetaraan warga negara.

Demokrasi bisa dipahami sebagai nilai-nilai universal. Dalam ‘Democracy as a Universal Value” Artya Sen mengatakan bahwa nilai-nilai demokrasi menurutnya bisa diterapkan oleh bangsa manapun. Konsep ini juga bisa dijumpai dimanpun bangsa yang telah menganut sistem demokrasi. Konsep itu mencakup tiga pandangan utama, Yaitu,

Pertama, tentang pentingnya hakikat kehidupan manusia. Konsep ini dilandasi oleh pandangan bahwa melalui demokrasi, warga negara dapat menjalankan partisipasi politik dan mempunyai kebiasaan politik dalam statusnya sebagai kemanusiaan seutuhnya. Nilai kemanusian seutuhnya itu merupakan nilai-nilai yang diakui oleh bangsa dan ajaran agama secara universal.

Kedua, peran pembantu dalam mengerakan dorongan politik. Menurut konsep demokrasi ini, pemerintah akan bertagung jawab dan terbuka dalam menjalankan pemerintahannya.

Ketiga, fungsi pembangunan dalam pembentukan nilai-nilai. Menurut pandangan ini, demokrasi setiap bangsa dapat membentuk nilai-nilai dan membangun kesepahaman tentang kebutuhan, hak, dan kewajiban. Kesepahaman perlu dibangun oleh suatu bangsa, jika mereka ingin mewujudkan demokrasi di negara mereka. Sehingga demokrasi menurut Sen adalah demokrasi yang yang memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya sendiri.

Samuel Huntington (1993) mengatakan, parameter untuk mengamati terwujudnya demokrasi itu ada empat hal, yaitu :

1. Pemilihan Umum, rekrutmen jabatan politik atau publik harus dilakukan dengan pemilihan umum yang dilaksanakan secara teratur.

2. Rotasi Kekuasaan, jabatan atau kekuasaan politik tidak boleh dan tidak bisa dipegang terus menerus oleh seseorang.

3. Rekrutmen Terbuka, demokrasi membuka peluang untuk berkompetisi karena semua orang, atau kelompok mempunyai hak dan peluang yang sama.

4. Akuntabilas Publik, pemegang jabatan publik harus mempertangung jawabkan kepada publik apa yang dilakukannya sebagai pejabat publik. Maka dari penjelasan itu dapat diberikan kesimpulan tentang demokrasi bahwa sifat demokrasi yang terbuka, fair, dan memberikan hak kepada individu maupun kelompok dalam hal mendapatkan jabatan publik dan pemerintahan. Dan rakyat dalam hal ini memilik power dalam kedaulatan bernegara melalui perwakilannya yang dipilih melalui kompetisi pemilu.

Dengan ada nya kompetisi politik yang di laksanakan lima tahun sekali di negara demokrasi sebagai cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan di pemerintahan. Apalagi Indonesia secara nasional maupun ditahun 2024 ini merupakan tahun dimana partai politik dan politisi-politisinya menyusun strategi untuk berkompetisi untuk pemilu tahun 2024 mendatang. Dengan berbagai produk dari partai dan politisi ini mencoba untuk mensosialisasikan kepada masyarakat, baik dengan terjun langsung ke masyarakat maupun dengan jargon-jargon yang dibuatkan di spanduk-spanduk dan baliho.

Pada dasarnya di dalam negara demokrasi cara yang digunakan seperti ini sudah lazim di lakukan. Sistem politik demokrasi yang membuat partai politik dan pelaku politik (Politisi) merupakan element penting yang harus ada di dalamnya. Carl J Friedrich menyebutkan bahwa partai politik merupakan sekelompok orang yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut dan mempertahankan kekuasaan pada pemerintahan yang berdasarkan kemanfaatan bersifat riil dan materil. Sudah dapat di pastikan bahwa peran partai politik dan pelaku di dalamnya menjadi sangat mempengaruhi jalannya kompetisi lima tahunan ini.

Hal diatas menjadi peluang bagi politisi untuk mensosialisasikan dirinya ke tenggah-tenggah masyarakat dengan cara yang telah di atur dalam undang-undang dan juga dengan cara yang sangat merugikan dan bahkan cenderung berorientasi kepada korupsi, yakni "Money Politik" atau juga disebut dengan "Politik uang". Dan bahkan yang lebih memprihatinkan adalah adanya angapan yang logis dan diangap lazim saja sebagai bagian dari kompetisi dalam perpolitikan di tenggah-tenggah masyarakat kita. Kita belum sepenuhnya sadar akan bahaya dari money politik bagi masyarakat dan negara.

Dengan politik uang untuk mendapatkan kekuasaan adalah cara yang akan melukai demokrasi yang di bangun secara jujur dan adil. Mustahil kompetisi politik dapat menjadi sehat dan fair-play dengan jiwa sportif untuk menundukan diri kepada prosedur dan aturan main yang adil, terbuka serta jujur. Maka dengan adanya budaya politik uang yang digunakan untuk memperoleh kekuasaan politik akan membuka peluang kepada politisi-politisi yang ikut berkomptisi ini untuk melakukan korupsi jika mereka terpilih nanti. Sebab, transaksi politik dengan uang yang banyak tentunya akan mempengaruhi mereka untuk menyalah gunakan kekuasaan yang diperoleh untuk mengembalikan uang mereka yang telah digunakan selama kampanye berlangsung, semakin besar uang yang digunakan untuk politik uang atau money politik maka akan semakin besar uang negara yang dikorupsi setelah mereka terpilih nantinya.

Lalu apa penyebab politik uang bisa terjadi? Dalam konteks pemilu, mekanisme demokrasi bisa sangat mengecewakan hasilnya mengingat mayoritas rakyat pendidikannya rendah, dan sebagian elite politik hanya memikirkan diri dan kelompoknya sehingga yang terjadi adalah manipulasi dan mobilisasi masa yang naif. Dan diperparah dengan memanfaatkan kemiskinan rakyat dengan manipulasi politik uang sehingga hak dan kedaulatan rakyat yang merupakan roh demokrasi telah dibajak, dirampas dan dibunuh oleh para elite politis dengan senjata uang (Komarudin hidayat,2006:44)

Jual beli-suara mengakibatkan lunturnya nilai-nilai demokrasi, melegitimasi proses pemilu, melemahkan akuntabilitas politik (vertikal) antara politikus dan pemilih, dan menghadirkan politikus yang korup. Pandangan umum menilai bahwa pemilih dalam menentukan pilihan dalam kontestasi pemilu bukan berdasarkan “Rasionalisasi” terhadap visi-misi dan kebijakan akan tetapi pemilih membuat keputusan/pilihan berdasarkan iming-iming uang atau barang. Arus utama diskursus jual-beli suara umumnya menyoroti pemilih yang begitu mudah mengadaikan suaranya dengan imbalan uang, sembako ataupun lainnya (Taylor:1996).

Jual-beli suara atau politik uang juga dapat menjadi batu sandungan bagi proses demokrasi Indonesia. Transaksi jual-beli suara antara politikus dan pemilih merupakan pengeluaran politik yang sulit untuk dihindarkan. Pengunaan uang, barang untuk mengaet suara pemilih ditengarai menjadi salah satu faktor pemenangan bagi kandidat yang memiliki modal besar. Urbaningrum menyebut Indonesia masih berada dalam situasi melamar demokrasi.

Saat ini Indonesia, menurut urbaningrum masih berada dalam proses transisi menuju demokrasi. Demokrasi merupakan salah satu bentuk reformasi politik yang sekarang yang sedang dijalani oleh bangsa Indonesia. Jatuhnya rezim otoritarian orde baru yang berjubah demokrasi pancasila membuka pintu bagi episode politik baru Indonesia (Urbaningrum:2004).

Dalam proses demokrasi yang disebutkan urbaningrum diatas tentunya Indonesia masih muda dalam proses menjalankan demokrasi, lalu hal demokrasi yang masih relativ muda ini juga dibumbui dengan politik uang tentu akan berdampak kepada proses berjalannya sistem sosial lainnya.

Lalu apakah jual-beli suara atau politik uang bisa mempengaruhi kemenangan kandidat yang berkompetisi? Belum tentu juga akan bisa menjadi jaminan bahwa dengan membayar suara masyarakat akan memperoleh kemenangan dalam kontestasi pemilu. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi? Sebab politisi perlu diingatkan bahwa praktik jual-beli suara sangat rumit dan tingkat keberhasilannya tidak bisa diprediksi.

Walau memiliki sumber daya yang banyak sekalipun, tidak ada jaminan untuk memenangi pemilu. Akibatnya kandidat yang melakukan jual beli-suara hanyalah melakukan perjudian. Plus dengan ketidak percayaan masyarakat/pemilih kepada politisi yang selalu mengumbar janji dan iming-iming uang dan barang lainnya. Dengan jargonnya masyarakat kita “Ambil uangnya, soal memilih siapa itu haknya saya”.

Apakah upaya pencegahan terjadinya politik uang tidak bisa dihindari ? Politik uang yang selalu menjadi momok yang menakutkan bagi proses demokrasi. Kenapa tidak? Semua kandidat berlomba-lomba meraup suara dengan cara membeli suara pemilih, sementara masyarakat/pemilih seolah menikmati dan tidak menjadi hal yang salah.

Pertama, Politik uang sangat berbahaya untuk membangun proses demokrasi yang bersih, sebab politik uang bisa merendahkan martabat rakyat. Para calon atau partai tertentu yang mengunakan politik uang dalam pemilu telah merendahkan martabat rakyat. Martabat rakyat dinilai oleh politisi hanya dengan uang dan bahan makanan yang tidak sebanding dengan lima tahun masa jabatan yang berhasil mereka rebut dengan cara ini.

Kedua, politik uang merupakan jebakan buat rakyat. Seseorang yang mengunakan politik uang untuk mencapai tujuannya sebenarnya sedang menyiapkan perangkap untuk rakyat, rakyat dalam hal ini tidak diajak bersama-sama dalam hal melakukan perjuangan perubahan, tetapi diarahkan hanya untuk memenangkan calon semata.

Ketiga, politik uang mematikan kaderisasi partai politik. Kaderisasi partai politik akan mati total jika terjadi politik uang dalam pemilu. Sang calon tidak merasa terbeban kepada pemilih karena akan mengangap keberhasilannya sebagai sesuatu yang telah dibeli dari rakyat saat terjadi transaksi jual-beli suara.

Keempat, politik uang akan berujung pada korupsi. Korupsi yang marak terjadi adalah sebuah bentuk penyelewengan uang negara dimana terjadi kerja sama antara eksekutif dan legislatif. Legislatif sebagai kontrol tidak berfungsi secara optimal. Point ini ada kaitan dengan point kedua diatas, dimana motivasi dilakukan korupsi adalah untuk mengembalikan kerugian yang terjadi saat kampanye dimana sang calon telah melakukan politik uang.

Budaya seperti ini terus terjadi dinegara Indonesia yang memiliki budaya, norma agama dan adat yang melingkupi masyarakatnya. Apakah norma agama atau aturan negara tidak diangap sebagai legitimasi bagi masyarakat untuk menjadi tolak ukur melakukan kesalahan seperti politik uang ini? Apakah tidak ada peraturan yang mengatur untuk menindak pelaku politik uang?

Penegakan hukum larangan pemberian uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih baik dalam pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum eksekutif meskipun dalam prakteknya secara kasat mata dan bukan lagi merupakan rahasia umum, akan tetapi penegakan hukum terasa sangat lemah. Jarang sekali bahkan belum terjadi pernah terjadi penegakan hukum dilakukan terhadap kandidat yang kedapatan memberikan uang atau materil lainnya untuk memenangkannya dalam kontestasi pemilu.

Dalam prakteknya penegakan hukum hanya dilakukan terhadap orang yang tertangkap tangan memberikan uang agar dalam pemilihan memilih calon tertentu. Padahal orang yang tertangkap tersebut hanya merupakan suruhan pihak lain, misalnya tim kampanye, maupun tim sukses kandidat yang akan berkompetisi tersebut.

Politik uang termasuk tindak pidana. Dalam undang-undang pemilu no. 3 tahun 1999 dinyatakan bahwa : “ barang siapa pada waktu diselengarakannya pemilihan umum. Menurut undang-undang ini jika memberikan uang untuk menyuap seseorang. Baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya orang itu tidak menjalankan haknya dengan cara tertentu. Di pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun pidana dan pidana itu juga disangsikan kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian uang atau janji untuk memberikan sesuatu. Dan pasal 139 ayat (2) UU Republik Indonesia no 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum angota DPR, DPD dan DPRD dalam ketentuan pidana : “ setiap orang orang yang sengaja memberi atau menjanjikan uang kepada seseorang supaya tidak mengunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu atau mengunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah. Diancam dengan pidana penjara paling singkat dua bulan atau paling lama dua belas bulan atau denda paling sedikit 1.000.000 dan paling banyak 10.000.000 Rupiah.

Dalam undang-undang pemilu tersebut diatas telah jelas diatur bahwa pemberian uang atau politik uang merupakan tindak pidana dalam pemilu. Aturan main yang mengatur untuk melaksanakan pemilihan umum baik legislatif maupun eksekutif untuk tetap bermain fair dan bersih dari praktek jual-beli suara sudah jelas dan terang. Namun begitu praktek dilapangan penulis melihat terjadi pergeseran dikarenakan lemahnya penegakan hukum bagi tindak pidana ini. Hanya sebatas penegakan hukum bagi pelaku tangkap tangan yang melakukan politik uang, yang mana pelaku ini juga merupakan disuruh oleh tim sukses atau kandidat.

Lalu bagaimana untuk mencegah terjadinya politik uang atau money politics? Menurut penulis. Pertama, pendekatan kultural dan norma masyarakat. Budaya dan norma yang berlaku ditenggah masyarakat tentu menjadi hal yang dapat menjadi filter utama dalam penangulangan perilaku aktor politik dan pemilih. Faktor norma masyarakat secara umum tidak membenarkan adanya penyuapan yang terjadi untuk memuluskan suatu kepentingan pribadi atau kelompok dalam hal meraih kemenangan kandidat didalam pemilu.

Kedua, penegakan hukum terhadap tindak pidana politik uang harus ditegakan dan tegas menindak pelaku, baik itu kandidat maupun tim suksesnya yang memberikan uang atau barang untuk membeli suara pemilih maupun juga masyarakat/pemilih yang menerima suapan uang atau barang. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan dampak jera kepada pelaku politik uang.

Ketiga, penyelengara pemilu (KPU dan Bawaslu) lebih banyak lagi memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya politik uang. Agar masyarakat/pemilih bisa mendapatkan pendidikan politik. Agar kedepannya politik uang tidak lagi terjadi dan pemilu bersih itu dapat tercapai.

Keempat, kepada partai politik dan politisi yang punya tanggung jawab dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat juga ikut melakukan sosialisasi. Karena dampak dari cerdasnya masyarakat dalam politik dalam proses demokrasi juga akan berdampak kepada politisi maupun partai politik dalam menjalan fungsinya sebagai penyambung aspirasi masyarakat.

Kelima, tugas dari orang terpelajar, terdidik untuk juga ikut berpartisipasi dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat. Karena fungsi dan tanggung jawab dari pengetahuan yang dimilikinya.

Keenam, untuk memperoleh pemilu yang bersih, demokrasi yang sehat tanpa politik uang atau money politics perlu kesadaran bersama seluruh lapisan masyarakat untuk sama-sama memberantas terjadinya politik uang disetiap proses pemilihan, baik itu pemilihan eksekutif maupun legislatif, baik untuk didaerah maupun untuk dipusat atau secara nasional. Karena perlu disadari bersama bahwa politik uang itu sangat berbahaya untuk proses berjalannya demokrasi yang bersih, dan akan selalu menimbulkan korupsi, walaupun tidak semua motiv korupsi itu adalah politik uang, tetapi penyumbang utama dalam terjadinya korupsi dinegara ini adalah berawalnya dari money politic atau politik uang.

Oleh : Paimal Andri (Alumni Fakultas Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dan Aktivis IMM)