Negara Pancasila Dār al-‘Ahdi wa al-Syāhādah

OPINI

Jurnalis Muda 12

10/13/20238 min baca

Bangsa Indonesia patut bersyukur kepada Allah atas anugerah negeri dengan populasi padat penduduk dan wilayah yang luas serta aneka ragam agama/ keyakinan, dan budayanya. Keanekaragaman (pluralitas) yang telah sedia ada di negeri ini mesti dijaga kelestariannya demi merajut kemajuan dan kegemilangan masa depan bangsa. Kemajemukan agama di negeri ini hendaknya dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada dunia bahwa perbedaan sampai ke tingkat agama dan keyakinan sekalipun dapat menyatukan penduduk Indonesia dalam bingkai pancasila.

Agama-agama di Indonesia yang terdiri dari Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu seharusnya menjadikan bangsa ini lebih dewasa dari bangsa manapun di dunia karena telah ‘terbiasa’ menyaksikan dan merasakan kondisi ril dari corak yang warna-warni. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama di Indonesia harus menghormati agama dan keyakinan pemeluk agama yang lain. Penghargaan terhadap ketidaksepahaman merupakan implementasi esensi ajaran Tuhan itu sendiri. Dimana Allah SWT secara eksplisit menjelaskan bahwa perbedaan itu adalah kehendak-Nya. Tidak mungkin manusia akan melawan kehendak Tuhan. Namun tugas manusia berikutnya yaitu menjadikan perbedaan itu sebagai sesuatu yang positif. Bukan malah membuat jurang pemisah antar penganut agama/keyakinan, bila perbedaan tidak dikelola dengan bijaksana, maka akan terjadi kedisharmonisan.

Menghargai agama dan keyakinan pemeluk agama lain bukan berarti harus mengakui kebenaran kepercayaan mereka, tapi sebagai bentuk apresiasi akan ajaran agama-agama yang ada. Kerukunan umat beragama mesti dipertahankan. Tanpa itu, maka khazanah perbedaan yang telah langgeng sejak beberapa abad yang silam akan menjadi sebuah kenangan belaka. Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam telah membuktikan diri akan kemampuannya berdiri di tengah-tengah keanekaragaman agama/ keyakinan dan budaya. Nilai-nilai yang telah dicontohkan oleh founding father bangsa dapat dijadikan teladan bagi segenap anak Bangsa. Bagaimana tidak, demi kemaslahatan dan keutuhan Bangsa mereka tidak memperturutkan keego-sentrisan kelompok atau golongan dan menyatukan pandangan kebangsaan dibawah ideologi bernama pancasila gagasan yang lahir berdasarkan konsensus tokoh-tokoh berpengaruh bangsa.

Pancasila yang hadir di tengah NKRI tidak terlepas dari peran serta figur-figur umat Islam itu sendiri. Sudah dimaklumi, bahwa terjadi hal yang dinamis di antara tim yang ada di BPU PKI saat merumuskan pokok-pokok landasan bangsa Indonesia. Dinamisasi itu sangat kasat mata, asal mula sila pertama pancasila adalah ketuhananan yang Maha Esa dan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya, berubah dengan ketuhanan yang maha Esa. Pencoretan tujuh kata dari sila pertama pancasila disebut Prof. Haedar Nashir –mengutip pandangan Alamsjah Syafrudin Prawiranegara- sebagai ‘hadiah’ terbesar umat Islam bagi negeri ini. Kebesaran hati dan jiwa para tokoh umat Islam yang bersedia tidak lagi mencantumkan tujuh kata tersebut mengingatkan akan peristiwa yaang dialami Rasulullah dan para sahabat saat perjanjian Hudaibiyah. Zaman itu Rasulullah sendiri yang bertindak menghapus klausul perjanjian yang ditawarkan awalnya berbunyi ‘H?dz? M? Qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah’ (ini perjanjian yang telah diputuskan Muhammad Seorang utusan Allah) karena ditolak oleh Suhail delegasi kafir Quraisy maka berubah ‘H?dz? M? Qudhiya 'alaihi Muhammad ibn 'Abdillah’ (ini perjanjian yang diputuskan Muhammad bin Abdullah), artinya tidak dicantumkan lagi kata-kata Rasulullah.

Kematangan berpikir tokoh-tokoh bangsa terutama delegasi umat Islam seperti Ki Bagus Hadi Kusumo – refresentasi Muhammadiyah - mencerminkan kebesaran jiwa mereka. Posisi mayoritas tidak lantas membuat para pesohor tersebut terlena dengan kuantitas sehingga harus selalu didengar, tetapi dengan ketinggian budi dan kematangan jiwa mereka sudi duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dan melakukan negosiasi demi terwujudnya bangsa Indonesia yang progresif dan berdaya saing di masa depan. Mereka memang figur-figur yang layak untuk menentukan kemana arah bangsa ini akan dibawa. Dan dari tangan dingin mereka lahir sebuah ‘kesepakatan’ hasil sebuah ijtihad yang ‘universal’. Ijtihad yang tidak mudah, karena ada proses yang saling tarik menarik. Namun demikian hal itu dapat melahirkan sebuah kemufakatan kiblat bangsa Indonesia.

Sesungguhnya tokoh-tokoh umat ini telah mengambil konsensus (ijma’) bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki alas yang kokoh di bawah ‘naungan’ pancasila. Pancasila yang terdiri dari lima dasar tersebut hakikatnya merupakan identitas bagi setiap masyarakatnya. Masyarakat Indonesia umat yang terkait erat dengan pancasila. Tidak disebut masyarakat Indonesia bila tidak pancasilais. Ada nilai-nilai utama yang tecermin dari pancasila yaitu agama/ keyakinan dan budaya. Kedua hal pokok tersebut tidak terpisahkan dari pribadi seorang warga negara Indonesia seperti dua sisi mata uang. Ini berarti masyarakat Indonesia adalah warga negara yang mempunyai pegangan agama/keyakinan dan hidup membaur di tengah masyarakat yang berbudaya Indonesia dalam rumah besar pancasila.

Negara ini dibangun di atas fondasi agama. Agama sesuatu yang fundamental dalam pancasila, sebab sila pertama. Bagi umat Islam Indonesia, agama terangkum dalam tiga rumpun besar pemikiran sebagaimana disabdakan Nabi Saw dalam hadis yang riwayat Imam Muslim yaitu, Islam, iman dan ihsan. Pengembangan berikutnya dari tiga rumpun pemikiran Islam lahir kajian jurisprudence (syariah), worldview (akidah), dan metafisika (tasawuf). Realitas ini meniscayakan masyarakat Indonesia tidak boleh berpaham takbertuhan (ateis). Menegasikan Tuhan di wilayah NKRI berarti tidak dapat hidup bersama di negeri beriklim tropis ini. Agama selalu dibutuhkan oleh seluruh pemeluknya dan terbukti mampu menjaga keharmonian antar penganutnya. Terlebih dari perspektif ajaran Islam, agama mengatur segala sendi kehidupan manusia, baik yang bersifat profan maupun yang spiritual (sakred).

Bahkan peran agama dalam sejarah peradaban dunia telah memberikan sokongan nyata untuk merawat persatuan yang bersifat semesta. Mengenai peran penting agama, Albert Einstein pernah berujar “ ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu lumpuh.” Ungkapan Einstein menguatkan pandangan tentang urgensi agama bagi peradaban manusia. Apa yang dikatakan Einstein terkait agama dan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa agama sesuatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan dari sains sendiri. Walaupun bagi umat Islam ilmu hanya salah satu irisan dari ajaran agama yang bersifat semesta. Worldview (falsafah hidup) yang dianut oleh bangsa Indonesia tidak menyetujui adanya pemikiran yang menafikan unsur-unsur kerohanian (magis). Slogan anti agama (anti Tuhan) -‘Tuhan sudah mati (Gott ist tot). Tuhan tetap mati, dan kita telah membunuhnya- seperti yang digaungkan filsuf Jerman Friedrich Nietzsche dalam Zarathustra bertolak belakang dengan falsafah hidup bangsa.

Berbeda dengan Einstein yang menegaskan kedudukan agama bagi sains, Nietzsche justru beranggapan sebaliknya. Masa pencerahan yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi secara perlahan akan menggeser keberadaan Tuhan dan menafikan kewujudan Tuhan itu sendiri. Ide-ide yang dikemukakan Nietzsche telah menyiratkan benih-benih sekularisasi pemikiran terutama pada ranah ilmu pengetahuan. Ide yang ditawarkan filsuf Jerman ini sudah tentu tertolak di negeri yang berfalsafah pancasila. Oleh sebab itu, dapat dimengerti lahirnya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran komunisme / Marxisme di Indonesia karena tidak sesuai dengan nilai moral-spiritual kebangsaan. Dan fakta telah menunjukkan bahwa terlalu banyak masyarakat yang menjadi korban dari keganasan manusia-manusia yang tidak beragama dan anti Tuhan.

Agama mesti diletakkan pada posisi yang sebenarnya. Ia tidak boleh dikooptasi oleh pihak pemeluk agama manapun untuk kepentingan sesaat. Ia harus ditempatkan secara proporsional dan profesional dalam menjaga maslahat dan keutuhan bangsa. Adanya sebahagian kelompok masyarakat Indonesia yang bersikap beringas dan brutal atas nama agama (apapun agamanya), jelas sesuatu yang kontradiktif dengan makna agama itu sendiri. Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari “Bu’itstu bi al-Hanifiyyah al-Samhah” (Aku diutus dengan agama ‘Ibrahim’ yang toleran) meneguhkan konsepsi bahwa agama tidak berbentangan dengan fitrah kemanusiaan. Agama selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak antagonistis. Terjadinya keadaan dimana seakan norma agama berlawanan dengan perikemanusiaan, hal sepantasnya disebabkan ketidakmampuan manusia menginterpretasikan ajaran-ajaran agama yang bersifat universal.

Selain agama yang ditekankan di negeri ini, budaya juga mesti dijadikan sebagai unsur penyempurna manusia Indonesia yang pancasilais. Budaya yang secara bahasa buddayah jamak dari buddi dimaknai sebagai hal-hal yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Intinya budaya merupakan kreasi manusia yang timbul dari sosio-kultural dan peradaban masyarakatnya. Bagi rakyat Indonesia selain kata budaya juga dikenal istilah adat dan istiadat yang bersinonim dengan tradisi. Ajaran Islam mengakui keberadaan budaya dan memandangnya sebagai fitrah manusia selagi budaya itu tidak melanggar norma-norma syariat. Lebih jauh lagi, salah satu perangkat yang digunakan dalam berijtihad (istinb?th al-Ahkam) adalan ‘urf yaitu penetapan hukum berdasarkan tradisi, kebiasaan, dan adat tempatan. Karena produk hukum Islam tidak hanya didasari oleh al-Quran dan sunnah, tapi juga sumber lain termasuk budaya, maka sangat bijak jawaban seorang sarjana Timur Tengah ketika ada pertanyaan dari ulama Indonesia tentang bagaimana hukum negara tidak berdasarkan al-quran dan hadis, tapi Pancasila. Ia menjawab, orang yang paling tepat untuk merespon permasalahan ini adalah ulama di Indonesia sendiri, sebab mereka yang lebih mengetahui dan memahami sosio-religius negara.

Sekali lagi respon bestari dari sarjana tersebut saat itu sangat beralasan. Dikatakan beralasan sebab, produk hukum tidak berdiri sendiri, tapi ada perangkat lain yang harus diperhatikan. Terlebih ketika membincangkan pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Wajar bila sarjana tersebut berkata jujur dan apa adanya, bahwa ilmuwan dan sarjana tempatan yang lebih mengetahui situasi dan kondisinya. Ada ungkapan bijak “Sh?hib al-Bait Adr? M? F?h” (Pemilik rumah lebih mengetahui apa yang ada di dalamnya).

Di dalam al-Quran ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan appresiasi terhadap tradisi dan melanjutkan eksistensi tradisi tersebut dengan melakukan penyempurnaan regulasinya. Kenyataan ini sudah barang tentu dapat diartikan sebagai bentuk penghormatan al-Quran akan sebuah tradisi. Biasanya al-Quran mengakomodasi tradisi-tradisi yang bersifat umum, artinya tidak pada hal-hal yang mendasar dan hanya bersifat anjuran dan bukan perintah. Sebagai contoh adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram. Namun ada juga praktik kebiasaan yang tidak dibenarkan oleh Allah dan dilarang di dalam al-Quran seperti berjudi, minum minuman keras (khamr), riba dan perbudakan.

Dalam konteks Keindonesiaan, budaya Indonesia berarti segala cipta dan karsa anak negeri dalam kaitannya menjaga eksistensi bangsa. Bangsa besar bernama Indonesia memiliki tradisi sendiri dan melekat sebagai ciri khas yang membedakannya dengan Bangsa lain. Uniknya tradisi yang ada di Indonesia tidak hanya berasal dari budaya nasional atau lokal semata, tapi ada budaya yang mendapat pengaruh Arab, India, Eropa dan Cina. Perpaduan budaya lokal, nasional dan pengaruh dari luar membuat Indonesia mempunyai distingsi tersendiri berbanding budaya di negara lain. Keaneragaman dalam budaya bernilai positif untuk membangun sikap hidup moderat di tengah masyarakat dunia.

Negeri ibu pertiwi ini dikenal sebagai masyarakat yang santun dan ramah kepada siapapun yang datang berkunjung. Tidak heran bila image yang terbangun di luar sana, Indonesia salah satu negara yang ramah di dunia. Sebuah appresiasi yang menggembirakan, tapi tidak boleh dimaknai secara berlebihan apalagi terlena dengan pujian tersebut. Budaya Indonesia yang kuat dan mengakar pada masyarakat hendaknya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas warganya dalam menghadapi tantangan global postmodernisme. Disamping budaya-budaya positif bangsa, Ada budaya-budaya negatif (pseudo-culture) yang juga berakar di bumi pertiwi seperti korupsi, pemalas, tidak bertanggung jawab, dan munafik. Istilah negatif yang terakhir (munafik) meminjam bahasa Moekhtar Lubis dalam Manusia Indonesia.

Pada hakikatnya, tradisi negatif (pseudo-culture) yang ada di bumi pertiwi bukanlah budaya, tapi ketidaknormalan. Negeri yang mengklaim penduduknya sangat religius justru terjebak dalam pusaran korupsi yang tidak berkesudahan. Operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK (komisi pemberantasan korupsi) tidak membuat jera dan sadar bagi pemangku pemerintahan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan pihak swasta. Mega skandal korupsi yang selalu terjadi di bumi ibu pertiwi mengerutkan kening kita sebagai anak bangsa yang mana agama adalah pondasi utama dalam bernegara. Demikian pula dengan budaya-budaya negatif lainnya yang mencoreng kebesaran nama bangsa.

Bahkan sosiolog Syed Hussein Alatas harus menulis buku Mitos Pribumi Pemalas Citra Orang Jawa, Melayu, dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial terjemahan The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism dalam rangka membela marwah bangsa Melayu termasuk di dalamnya orang Jawa (Indonesia). Walaupun Syed Hussein Alatas melakukan ‘pembelaan’ ini tidak berarti bahwa tidak terjadi kekeliruan cara pandang bangsa Melayu ketika itu termasuk orang-orang Jawa (orang Indonesia). Kesalahan bangsa Melayu dalam berpikir ini disebabkan hasil inilah yang disebut Syed Hussein Alatas dengan penyimpangan watak orang Melayu.

Tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia setelah kemerdekaannya adalah tantangan internal, di samping tantangan eksternal. Dimana negeri ini diuji dengan berbagai macam persoalan baik dari golongan kanan yang menginginkan agar negara ini tidak berdasarkan pancasila, tapi ‘agama’ versi mereka sehingga muncul keinginan sebahagian kelompok berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), walaupun gagal. Sebaliknya tidak kalah gencarnya kelompok kiri yang ingin mengganti pancasila dengan komunis dengan beberapa kali pengkhianatan yang dilakukan oleh partai komunis Indonesia (PKI), juga gagal. Kegagalan dua mainstream (agamis-komunis) meneguhkan akan kokohnya nilai-nilai kebangsaan dalam bingkai pancasila. Sebagai anak bangsa seharusnya tidak lagi disibukkan untuk mengurusi bentuk dan sistem negara ini. Konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia anugerah dari yang Maha Kuasa. Justru anak negeri ini mesti bersyukur dengan anugerah-Nya.

Cukup panjang perdebatan tentang negara Indonesia dan pancasila. Akhirnya diperoleh kesepakatan oleh para delegasi khususnya umat Islam bahwa negara ini bernama Indonesia dan pancasila sebagai ideologi negara. Dan dalam pancasila ada nilai-nilai agama dan budaya. Maka sangat tepat dan cerdas ijtihad organisasi masyarakat terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah yang menyatakan konsensus pancasila dan berdirinya negara Indonesia sebagai negara pancasila sebagai D?r al-‘Ahdi wa al-Syah?dah. Negeri kesepakatan yang harus dipegang dan tempat bersaksi membangun negeri. Dipegang artinya tidak dikhianati dan dijunjung tinggi. Tempat bersaksi maksudnya menara jaga anak bangsa dalam mensyukuri keberadaan negeri ini dengan amal ilmiah dan ilmu amaliah.

Ditulis oleh Dr. Bambang, MA Dosen Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat