Mengenang September : Aparat Penegak Hukum dan Penggunaan Gas Air Mata

OPINI

Jurnalis Muda 12

9/10/20232 min baca

Salus populi suprema lex esto, "Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi Bagi Suatu Negara"

September Hitam, bulan yang penuh nestapa, air mata hingga pertumpahan darah karena sejarah di Indonesia mengatakan hampir sepanjang bulan September terjadi peristiwa peristiwa yang tidak berkemanusiaan hingga pelanggaran pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Sebut saja ‘Tragedi 65’ pada 30 September 1965 (G30S), peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984, tragedi Semanggi II pada 24-28 September 1999, pembunuhan salah satu aktivis HAM yang terkemuka, Munir Said Thalib pada 7 September 2004, aksi demonstran Reformasi Dikorupsi pada tanggal 24 September 2019.

Tahun 2023, September kembali menjadi sejarah dimana telah terjadi bentrokan antara warga Rempang, Kepulauan Riau dengan aparat gabungan TNI, Kepolisian, BP Batam. Peristiwa ini bermula ketika sebanyak 16 kampung adat di pulau Rempang dan pulau Galang terancam terjadinya penggusuran karena adanya pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dinamai Rempang Eco City. Pada tanggal 07 September 2023 aparat gabungan dengan 60 armada yang hendak melakukan pemasangan patok tata batas diwarnai dengan penolakan warga Pulau Rempang yang telah bersiap siaga di Jembatan IV Barelang. Adanya semburan gas air mata dari aparat gabungan membuat suasana menjadi mencekam bahkan semburan gas air mata tersebut telah sampai hingga ke area sekolah yang berakibat Guru dan Siswa di SMP Negeri 22 Galang dan SD Negeri 24 Galang berhamburan ke hutan belakang sekolah karena kelas mereka yang sudah penuh dengan gas air mata.

Penggunaan gas air mata oleh aparat penegak hukum terhadap masyarakat memang memprihatinkan. Walau penggunaan gas air mata ini sering dinilai sebagai pengendalian kerusuhan atau protes massa, tetapi penggunaannya haruslah proporsional yang artinya bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan hal ini tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan kemudian peraturan yang sama dalam pasal 5 juga menjelaskan bagaimana tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.

Penggunaan gas air mata oleh aparat juga berpotensi menyebabkan cedera baik secara fisik maupun trauma psikologis pada orang yang terkena dampaknya, terutama pada mereka yang mungkin rentan seperti anak-anak, lansia, ataupun seseorang yang sedang mengalami penyakit serius. Menghadapi protes atau kerusuhan massa haruslah menggunakan pendekatan yang lebih baik dengan menggunakan taktik negosiasi, dialog, ataupun penanganan yang lebih manusiawi.Untuk alasan apapun kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak setiap warga Negara yang seharusnya mendapatkan perlindungan serta harus dihormati. Pemerintah yang juga harus memastikan adanya mekanisme pengawasan yang lebih efektif terhadap aparat penegak hukum.

Tidak ada alasan yang sah untuk menggunakan kekerasan termasuk penggunaan gas air mata terhadap masyarakat yang sedang melakukan protes ataupun demonstrasi. Sebagai Negara demokratis, seharusnya aparat penegak hukum mampu menunjukkan tingkat profesionalisme dan kecakapan dalam menangani situasi situasi yang dapat mengarah pada konflik. Aparat penegak hukum juga harusnya lebih mengutamakan menghargai dan menghormati hak asasi manusia serta memberikan ruang yang memadai bagi pendapat dan kebebasan berpendapat.

Penggunaan gas air mata haruslah menjadi pilihan terakhir bagi aparat penegak hukum yang dalam situasi-situasi yang benar-benar membutuhkan tindakan penegakkan hukum yang keras. Penting bagi Negara untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum bertindak sesuai dengan hukum dan menghormati hak asasi manusia, hanya dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini yang dapat membangun masyarakat yang adil, berkeadilan, dan demokratis.

Mhd Yusuf (Ketua Lembaga Kajian dan Debat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)