Membersihkan SAMPAH Di Lembaga Pendidikan

OPINI

Jurnalis Muda 12

12/15/20234 min baca

Pelecehan dan kekerasan seksual di dunia pendidikan bukan hanya sekadar isu; ini adalah serangan terhadap hak asasi manusia dan integritas peserta didik. Lembaga pendidikan, seharusnya menjadi penjaga lingkungan yang aman, bukan sebaliknya menjadi panggung kejahatan yang harus segera dibersihkan dari pelaku kejahatan seksual yang dalam hal ini penulis sebut sebagai sampah. Penting bagi kita untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam membersihkan sampah ini agar masa depan pendidikan benar-benar bersih dari ancaman predator yang statusnya lebih rendah dari binatang.

Bagi sebagian orang atau bagi pelaku kejahatan seksual kata sampah akan terdengar kasar dan tidak beretika, namun perlu kita ketahui jika sampah adalah sesuatu yang tidak berguna dan patut untuk di singkirkan. Tidak ada istilah memilah dan daur ulang terhadap sampah (pelaku kejahatan seksual), terlebih di lingkungan pendidikan.

Sebagai orang berpendidikan yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa, guru, dosen maupun karyawan yang mengabdi pada sebuah lembaga pendidikan musti membimbing peserta didik agar berada di jalan yang benar. Bukan sebaliknya menjerumuskan bahkan merusak generasi bangsa, jadi patut rasanya setiap lembaga pendidikan tinggi membersihkan diri dari sampah guna menjaga kesehatan dan keselamatan pendidikan di negeri ini. Pemerintah juga telah menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Faktor Penyebab Kejahatan Seksual

Kejahatan seksual bisa dilakukan oleh siapapun. Baik itu guru, dosen, staf atau karyawan, bahkan teman sekalipun. Biasanya mereka menggunakan kekuasaan untuk mengintimidasi korban, dan tidak jarang menggunakan cara licik untuk melancarkan aksinya.

Contoh; seorang guru/dosen memberikan nilai rendah kepada peserta didiknya, untuk memperbaiki nilai tersebut si dosen memberikan syarat khusus. Peserta didik musti menuruti “KEINGINAN” si dosen untuk “STAYCATION” di tempat yang sudah di tentukan, jika menolak dosen ini akan mempersulit peserta didik tersebut dalam mengikuti perkuliahan dengannya.

Contoh lain; seorang guru/dosen laki-laki sering kali melakukan panggilan video kepada peserta didik perempuan dengan dalih menanyakan kabar, serta menanyakan sudah mengerjakan tugas atau belum. Walaupun hal ini tidak termasuk dalam kategori kejahatan seksual namun perlu kita garis bawahi, sebelum beraksi seorang pencuri akan melakukan observasi, dan memastikan situasi aman dan kondusif.

Sebagai dosen laki-laki, tidak etis baginya melakukan hal demikian. Jika memiliki kepedulian kepada peserta didik cukup ditanyakan melalui pesan tertulis di WhatsApp Group tanpa membedakan jenis kelamin peserta didik.

Faktor lain disebabkan sikap korban yang tidak terbuka, dan takut terhadap stigma sosial yang akan muncul. Atau rasa malu dapat membuat korban enggan melaporkan kejahatan seksual yang di alaminya, sehingga pelaku merasa aman dan lebih leluasa dalam menjalankan aksinya.

Disisi lain peran lembaga pendidikan tinggi juga menjadi faktor pendukung. Takut nama lembaganya akan tercoreng pimpinan memilih diam, tidak jarang pimpinan lembaga turut mengintimidasi korban agar tidak bersuara. Ketidak tegasan pimpinan lembaga pendidikan terhadap sampah menjadi angin segar bagi mereka untuk terus mengulangi perbuatan yang sama.

Kurangnya pendidikan seksual yang baik dapat membuat individu tidak memahami batas-batas yang jelas dalam hubungan antar individu, juga menjadi faktor penyebab utama terjadinya pelecehan dan kejahatan seksual.

Macam-Macam Tindak Kejahatan Seksual

Meskipun sering digunakan bersamaan, pelecehan seksual dan kekerasan seksual sebenarnya memiliki perbedaan dalam konteks dan tingkat keseriusannya. Berikut adalah perbedaan antara keduanya:

Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual merujuk pada perilaku atau tindakan yang tidak diinginkan atau merendahkan seseorang dalam konteks seksual baik secara fisik maupun verbal. Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja, termasuk di tempat kerja, di sekolah, di tempat umum, atau di lingkungan sosial.

Pelecehan seksual bisa muncul dalam berbagai bentuk, dan penting untuk diingat bahwa pelecehan seksual adalah tindakan yang tidak pantas dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Berikut adalah beberapa contoh bentuk pelecehan seksual:

Pelecehan Fisik; meliputi sentuhan yang tidak diinginkan atau meraba tubuh seseorang.

Pelecehan Verbal; hal ini merujuk pada ucapan seksual yang tidak pantas atau ejekan. Lebih lanjut, sering kali termasuk intimidasi atau ancaman.

Pelecehan Non-Fisik; pelecehan jenis ini sering kali didapati melalui pesan teks, media sosial, atau komunikasi daring lainnya. Termasuk menyebarluaskan foto atau video intim seseorang, biasa terjadi sebagai bentuk balas dendam.

Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual merujuk pada tindakan atau perilaku yang menggunakan unsur seksual untuk menyakiti, merendahkan, atau memaksa individu tanpa persetujuan mereka. Ini adalah bentuk kekerasan yang melibatkan eksploitasi seksual dan dapat terjadi dalam berbagai konteks, termasuk dalam hubungan pribadi, situasi pekerjaan, atau di tempat umum. Berikut adalah beberapa bentuk kekerasan seksual; pemerkosaan, eksploitasi seksual, hingga memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual melalui paltform digital, dan lain sebagainya.

Kekerasan seksual merupakan tindak kejahatan serius yang melibatkan berbagai konsekuensi psikologis, emosional, dan fisik bagi korban. Pencegahan kekerasan seksual dapat dimulai dari diri sendiri, keluarga hingga melibatkan lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat, dan penegakan hukum yang efektif.

Ketika membahas pencegahan kejahatan seksual di lembaga pendidikan tinggi, penting untuk memahami bahwa ini bukan hanya masalah pendidikan tetapi juga masalah sosial yang lebih besar. Pendidikan seks yang holistik dan menyeluruh, bukan hanya sebagai upaya pencegahan tetapi juga sebagai langkah untuk mengubah budaya yang memungkinkan kejahatan tersebut terjadi perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum pembelajaran.

Selain itu, penting untuk menciptakan ruang di mana para korban merasa aman untuk melaporkan insiden-insiden tersebut tanpa takut akan pembenaran atau reaksi negatif dari netizen yang merasa paling benar. Suara para korban harus didengar, dan tindakan tegas harus diambil terhadap pelaku.

Membersihkan sampah di dunia pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, lembaga pendidikan tinggi atau pihak berwenang. Ini adalah tanggung jawab bersama kita sebagai masyarakat. Kita semua memiliki peran dalam menciptakan budaya yang melindungi dan mendukung setiap individu, terutama anak-anak dan remaja, dalam proses pembelajaran mereka. Dengan bersatu, kita dapat membersihkan sampah ini dan memberikan masa depan pendidikan yang sejati, bebas dari ancaman kejahatan seksual.

Frans Fradinen